Perempuan Indonesia Masih Sulit Akses Keadilan Hukum
[JAKARTA] Akses perempuan untuk mendapatkan keadilan dalam proses hukum ternyata tidak sejalan dengan kemajuan mereka dalam berbagai sektor pembangunan akhir-akhir ini. Masih banyak perempuan Indonesia yang sulit mengakses keadilan hukum ketika mereka menjadi korban kekerasan.
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2010, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 105,103 orang/kasus, dan 96% di antaranya terjadi di ranah privat. Di balik angka tersebut, ternyata selama bertahun-tahun perempuan korban kekerasan tersebut mengalami kesulitan dalam mengakses keadilan.
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, nyaris belum ada mekanisme penanangan hukum yang berpihak pada kepentingan perempuan. Misalnya di daerah perbatasan dan daerah koflik, perempuan kerap menjadi korban kekerasan seksual oleh aparat militer, tetapi itu dianggap sebagai tanggung jawab individu.
Seharusya kasus seperti ini menjadi tanggung jawab institusi untuk membangun mekanisme agar aparat hukum tidak semena-mena. Namun, kata dia, dari penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan selama ini menunjukkan hukum di Indonesia sulit menyentuh aparat sebagai pelaku.
"Selain itu, pembuktian terhadap kasus kekerasan tersebut selalu dengan fisik, padahal korban sudah mengalami kekerasan sejak beberapa tahun silam. Sulit untuk membuktikan tindak kriminal tersebut, sehingga penderitaan korban terus berlangsung," katanya seusai acara penandatangan nota kesepahaman tentang akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komnas Perempuan, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jakarta, Rabu (23/11).
Berdasarkan berbagai fakta, kendala dan pengalaman perempuan korban tindak kekerasan dalam mengakses keadilan, tahun ini para pihak tersebut menyusun kesepakatan bersama. Kesepakatan yang baru ditanda tangani tersebut bertujuan untuk menyamakan persepsi dalam menganani korban kekerasan. Selain itu untuk meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum dalam memberikan bantuan dan perlindungan hukum bagi korban, serta terjalin koordinasi dan kerjasama untuk mempercepat proses penanangan secara lebih cepat, murah, transparan.
Salah satu poit dalam kesepakatan ini adalah mengintegrasikan antara hak asasi manusia dan gender ke dalam kurikulum pendidikan aparat penegak hukum. Dengan pendidikan tersebut, kemungkinan para hakim juga akan dibekali sertifikat dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Untuk saat ini, instansi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung dan Peradi sudah mempersiapkan lembaga pendidikan. Modul atau panduan untuk pendidikannya pun telah diluncurkan, yang merupakan hasil pemikiran bersama dan yang diuji coba di 3 kawasan Indonesia yakni barat, tengah dan timur.
"Arahnya akan ke sana di mana hakim dan lainnya akan dibekali sertifikat, tetapi Komnas perempiuan haya menyusun modul untuk kurikulum, sedangkan yang melaksanakan pendidikannya di kurikulum adalah Jaksa Agung," kata Kunthi Tridewiyanti, Ketua Reformasi Hukum Komnas Perempuan menambahkan.
Yuniyanti Chuzaifah berharap kesepakatan ini tidak hanya formalitas, seperti rekomendasi dari Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta mekanisme Ham PBB yang kerap diabaikan atau tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah. Padahal rekomendasi tersebut adalah hasil temuan penting yang bersentuhan langsung dengan korban.
Menurutnya, dalam hal perlindungan perempuan korban kekerasan, Indonesia jauh tertinggal dari negara lain, padahal separuh dari penduduk Indonesia adalah perempuan. Australia misalnya, mengembangkan sistem di mana perempuan yang bercerai tidak harus menagih ke mantan suami untuk dapat hak ekonominya. Sudah ada institusi yang otomatis memotong gaji suaminya agar hak ditunaikan, bukan pada kebaikan hati semata.
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/nasional/perempuan-indonesia-masih-sulit-akses-keadilan-hukum/13990