Enam
Tahun Lumpur Lapindo, Sisakan Tangis dan Dampak Sosial
PADA 29 MEI kemarin
tragedi luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki tahun keenam. Namun
demikian penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan darinya masih
menyisakan tanda tanya. Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada
korban belum tuntas. Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS), rata-rata volume lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter
kubik per hari.
Tumpukan 4.129 berkas
dari 13.286 keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi
mencapai sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum lolos
verifikasi sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu
sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.
Lapindo hanya bisa
menjanjikan Rp 400 miliar yang akan didistribusikan pada Juli mendatang dengan
prioritas ganti rugi di bawah Rp 500 juta. Sedangkan sisanya 'belum jelas'.
Menurut aktivis Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya
menimbulkan dampak sosial. Masalah kesehatan misalnya. Data di Puskesmas
Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit terus meningkat sejak 2006. Penderita
infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak 24.719 orang, pada
2009 meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu, gastritis yang pada 2005
baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat menjadi 22.189 penderita.
Kemudian masalah
pendidikan, setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini, belum
ada satu pun sekolah pengganti yang dibangun pemerintah.
Jaringan Advokasi
Tambang (JATAM) menambahkan, potensi masalah lain yang timbul adalah masalah
kecemburuan sosial dan konflik antarwarga. Mengapa demikian? Koordinator
Nasional JATAM Andrie S Wijaya menjelaskan, penetapan wilayah terdampak lumpur
Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, semakin tidak jelas. Hal ini lah yang
berpotensi memunculkan kecemburuan sosial dan konflik antarwarga dari daerah
yang terkena dampak lumpur.
“Bibit konflik
horisontal di tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi lahan,"
kata Andrie. Banyak warga yang belum mendapat ganti rugi padahal daerah mereka
ditetapkan sebagai wilayah terdampak sejak pertama kali semburan lumpur
terjadi, 29 Mei 2006. Dalam ketidakpastian itu, pemerintah malah menetapkan
wilayah terdampak baru dan mempercepat pembayaran. Ini tentu akan menimbulkan
kecemburuan sosial.
Pemerintah menetapkan
wilayah lain sebagai wilayah terdampak baru dan proses pembayaran dipercepat,
sementara wilayah yang jelas-jelas terdampak dari awal, pembayarannya malah
belum jelas.