Senin, 29 Oktober 2012

Ilmu Sosial Dasar (Lokal)


Enam Tahun Lumpur Lapindo, Sisakan Tangis dan Dampak Sosial


PADA 29 MEI kemarin tragedi luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki tahun keenam. Namun demikian penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan darinya masih menyisakan tanda tanya. Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada korban belum tuntas. Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), rata-rata volume lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter kubik per hari.
Tumpukan 4.129 berkas dari 13.286 keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi mencapai sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum lolos verifikasi sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.
Lapindo hanya bisa menjanjikan Rp 400 miliar yang akan didistribusikan pada Juli mendatang dengan prioritas ganti rugi di bawah Rp 500 juta. Sedangkan sisanya 'belum jelas'.
Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya menimbulkan dampak sosial. Masalah kesehatan misalnya. Data di Puskesmas Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit terus meningkat sejak 2006. Penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak 24.719 orang, pada 2009 meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu, gastritis yang pada 2005 baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat menjadi 22.189 penderita. 
Kemudian masalah pendidikan, setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini, belum ada satu pun sekolah pengganti yang dibangun pemerintah. 
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, potensi masalah lain yang timbul adalah masalah kecemburuan sosial dan konflik antarwarga. Mengapa demikian? Koordinator Nasional JATAM Andrie S Wijaya menjelaskan, penetapan wilayah terdampak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, semakin tidak jelas. Hal ini lah yang berpotensi memunculkan kecemburuan sosial dan konflik antarwarga dari daerah yang terkena dampak lumpur.
“Bibit konflik horisontal di tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi lahan," kata Andrie. Banyak warga yang belum mendapat ganti rugi padahal daerah mereka ditetapkan sebagai wilayah terdampak sejak pertama kali semburan lumpur terjadi, 29 Mei 2006. Dalam ketidakpastian itu, pemerintah malah menetapkan wilayah terdampak baru dan mempercepat pembayaran. Ini tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintah menetapkan wilayah lain sebagai wilayah terdampak baru dan proses pembayaran dipercepat, sementara wilayah yang jelas-jelas terdampak dari awal, pembayarannya malah belum jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar